Senin, 04 Juni 2012

Jumat, 01 Februari 2008

Silsilah Muhammad SAW





Tentang Arab Musta'ribah, cikal bakal kakek mereka yang tertua adalah Ibrahim Alaihis-Salam, yang berasal dari negeri Iraq, dari sebuah daerah yang disebut Ar, berada di pinggir barat sungai Eufrat, berdekatan dengan Kufah. Cukup banyak penelusuran dan penelitian yang kemudian disajikan secara terinci mengenai negeri ini, keluarga Ibrahim Alaihis-Salam, kondisi relijius dan sosial di negeri tersebut.
Sudah diketahui bersama bahwa Ibrahim Alaihis-Salam hijrah dari Iraq ke Haran atau Hurran, termasuk pula ke Palestina, dan menjadikan negeri itu sebagai pijakan dakwah beliau. Beliau banyak menyusuri negeri ini dengan setitik harapan, hingga akhirnya beliau sampai ke Mesir. Fir'aun penguasa Mesir merekayasa dan memasang siasat buruk terhadap istri beliau, Sarah. Namun Allah justru mengembalikan jerat itu ke lehernya sendiri. Hingga akhirnya Fir'aun tahu kedekatan hubungan Sarah dengan Allah. Untuk itu dia menghadiahkan putrinya sendiri, Hajar menjadi pem-bantu Sarah, sebagai pengakuan terhadap keutamaan Sarah, dan akhirnya Sarah mengawinkan Hajar dengan Ibrahim. '

Ibrahim Alaihis-Salam kembali ke Palestina dan Allah menganugerahkan Isma'il dari Hajar. Sarah terbakar api cemburu. Dia memaksa Ibrahimuntuk melenyapkan Hajar dan putranya yang masih kecil, Isma'il. Maka beliau membawa keduanya ke Hijaz dan menempatkan mereka berdua di suatu lembah yang tiada ditumbuhi tanaman, tepatnya di dekat Baitul-Haram, yang saat itu hanya berupa gundukan-gundukan tanah. Rasa gundah mulai menggayuti pikiran Ibrahim. Beliau menoleh ke kiri dan kanan, lalu meletakkan putranya di dalam tenda, tepatnya di dekat mata air Zamzam. Saat itu di Makkah belum ada seorang manusia pun dan tidak ada mata air. Beliau meletakkan geriba, wadah air di dekat Hajar dan Isma'il, juga korma. Setelah itu beliau kembali lagi ke Palestina. Beberapa hari tak lama kemudian, bekal dan air sudah habis. Sementara tidak ada mata air yang mengalir. Tiba-tiba mata air Zamzam memancar berkat karunia Allah, sehingga bisa menjadi sumber penghidupan bagi mereka berdua, yang tak pernah habis hingga sekarang. Akhirnya Ibrahim membangun bangunan Pertama kali di lembah tersebut, Ka`bah dibangun Ibrahim diperkirakan pada tahun 3500 SM. Kisah mengenai hal ini sudah banyak diketahui secara lengkapnya.
Suatu kabilah dari Yaman (Jurhum Kedua) datang di sana, dan atas perkenan ibu Isma'il mereka menetap di sana. Ada yang mengatakan, mereka sudah berada di sana sebelum itu, menetap di lembah-lembah di pinggir kota Makkah. Adapun riwayat Al-Bukhary menegaskan bahwa mereka singgah di Makkah setelah kedatangan Isma'il dan ibunya, sebelum Isma'il remaja. Mereka sudahbiasa melewati jalur Makkah sebelum itu.*)

Dari waktu ke waktu Ibrahim datang ke Makkah untuk menjenguk keluarganya. Beliau tidak tahu berapa kali kunjungan yang dilakukannya. Hanya saja menurut beberapa refrensi sejarah yang dapat dipercaya, kunjungan itu dilakukan sebanyak empat kali.
Allah telah menyebutkan di dalam Al-Qur'an, bahwa Ibrahim dibuat bermimpi selagi tidur, bahwabeliau menyembelih anaknya, Isma'il. Maka dari itu beliau bangun dan hendak melaksanakan mimpi yang dianggap sebagai sebuah perintah.
"Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan,kami panggillah dia, 'Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu', sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan, Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar." (Ash-Shaffat: 103-107).

Dari rentetan kisah ini menunjukkan bahwa peristiwa itu terjadi sebelum kelahiran Ishaq. Sebab kabar gembira tentang kelahiran Ishaq disampaikan setelah terjadinya kisah ini.
Setidak-tidaknya kisah ini menjamin satu fase kisah perjalanan, bahwa peristiwa tersebut terjadi sebelum Isma'il menginjak remaja. Sedangkan tiga fase lainnya telah diriwayatkan Al-Bukhary secara panjang lebar, dari Ibnu Abbas secara marfu', yang intinya bahwa sebelum remaja, Isma'il belajar bahasa Arab dari kabilah Jurhum. Karena merasa tertarik kepadanya, maka mereka mengawinkannya dengan salah seorang wanita dari golongan mereka. Saat itu ibu Isma'il sudah meninggal dunia. Suatu saat Ibrahim hendak menjenguk keluarga yang ditinggal-kannya. Maka beliau datang setelah pernikahan itu. Tatkala tiba di rumah Isma'il, beliau tidak mendapatkan Isma'il. Maka beliau bertanya kepada istrinya, bagaimana keadaan mereka berdua. Istri Isma'il mengeluhkan kehidupan mereka yang melarat. Maka Ibrahim menitip pesan, agar istri¬nya menyampaikan kepada Isma'il untuk merubah palang pintu rumahnya. Setelah diberitahu, Isma'il mengerti maksud pesan ayahnya. Maka Isma'il menceraikan istrinya dan kawin lagi dengan wanita lain^ yaitu putri Mudhadh bin Amr, pemimpin dan.pemuka kabilah Jurhum. •*

Setelah perkawinan Isma'il yang kedua ini, Ibrahim datang lagi, namun tidak bisa bertemu dengan Isma'il. Beliau bertanya kepada istri Isma'il tentang keadaan mereka berdua. Jawaban istri Isma'il adalah pujian kepada Allah. Lalu Ibrahim kembali lagi ke Palestina setelah menitip pesan lewat istri Isma'il, agar Isma'il memperkokoh palang pintu rumahnya.

Pada kedatangan yang ketiga kalinya Ibrahim bisa bertemu dengan Isma'il, yang saat itu Isma'il sedang meraut anak panahnya di bawah sebuah pohon di dekat Zamzam. Tatkala melihat kehadiran ayahnya, Isma'il berbuat sebagaimana layaknya seorang anak yang lama tidak bersua bapaknya, dan Ibrahim juga berbuat layaknya seorang bapak yang lama tidak bersua anaknya. Pertemuan ini terjadi setelah sekian lama. Sebagai seorang ayah yang penuh rasa kasih sayang dan lemah lembut, sulit rasanya beliau bisa menahan kesabaran untuk bersua anaknya. Begitu pula dengan Isma'il, sebagai anak yang berbakti dan shalih. Dengan adanya perjumpaan ini mereka berdua sepakat untuk membangun Ka'bah, meninggikan sendi-sendinya dan Ibrahim memperkenankan manusia untuk berhaji sebagaimana yang diperintahkan Allah kepada beliau.

Dari perkawinannya dengan putri Mudhadh, Isma'il dikaruniai anak oleh Allah sebanyak dua belas, yang semuanya laki-laki, yaitu: Nabat atau Nabayuth, Qidar, Adba'il, Mabsyam, Masyma', Duma, Misya, Hadad, Yatma, Yathur, Nafis dan Qaidaman. Dari mereka inilah kemudian berkembang menjadi dua belas kabilah, yang semuanya menetap di Makkah untuk sekian lama. Pokok pencaharian mereka adalah berdagang, membentang dari negeri Yaman hingga ke negeri Syam dan Mesir. Selanjutnya kabilah-kabilah ini menyebar di berbagai penjuru jazirah, dan bahkan keluar jazirah. Seiring dengan perjalanan waktu, keadaaan mereka tidak lagi terdeteksi, kecuali anak keturunan Nabat dan Qidar.
Peradaban anak keturunan Nabat bersinar di Hijaz Utara. Mereka mampu mendirikan pemerintahan yang kuat dan menguasai daerah-daerah di sekitarnya, dan menjadikan Al-Bathra' sebagai ibukotanya. Tak seorang pun berani memusuhi mereka hingga datang pasukan Romawi yang melindas mereka. Setelah melakukan penyelidikan yang mendalam dan pene-litian yang akurat, As-Sayyid Sulaiman An-Nadwy menegaskan bahwa raja-raja keturunan Ghassan, termasuk Aus dan Khazraj, bukan berasal dari keturunan Qahthan, tetapi dari keturunan Nabat, anak Isma'il.**

Sedangkan anak keturunan Qidar bin Isma'il tetap menetap di Makkah, beranak pinak di sana hingga menurunkan Adnan dan anaknya Ma'ad. Dari dialah keturunan Arab Adnaniyah masih bisa dipertahankar keberadaannya. Adnan adalah kakek kedua puluh dua dalam silsilah keturunan Nabi Shallallahu Alaihl wa Sallam. Diriwayatkan bahwa jika beliau menyebutkan nasabnya dan sampai kepada Adnan, maka beliau berhenti dan bersabda, "Para ahli silsilah nasab banyak yang berdusta." Lalu beliau tidak melanjutkannya. Segolongan ulama memperbolehkan mengangkat nasab dari Adnan ke atas, dengan berlandaskan kepada hadits yang memang mengisyaratkan hal itu. Menurut mereka, antara Adnan sampai Ibrahim Alaihis-Salam ada empat puluh^keturunan, yang di-dasarkan kepada penelitian yang cukup mendetail.**

Keturunan Ma'ad dari anaknya Nizar telah berpencar kemana-mana. Menurut suatu pendapat, Nizar adalah satu-satunya anak Ma'ad. Se¬dangkan Nizar sendiri mempunyai empat anak, yang kemudian berkem-bang menjadi empat kabilah yang besar, yaitu: lyad, Anmar, Rabi'ah dan Mudhar. Dua kabilah terakhir inilah yang paling banyak marga dan sukunya. Dari Rabi'ah ada Asad bin Rabi'ah, Anzah, Abdul-Qais, dua anak Wa'il, Bakr dan Taghlib, Hanifah dan lain-lainnya.

Sedangkan kabilah Mudhar berkembang menjadi dua suku yang besar, yaitu Qais Ailan bin Mudhar dan marga-marga Ilyas bin Mudhar. Dari Qais Ailan ada Bani Sulaim, Bani Hawazin, Bani Ghathafan. Dari Ghathafan ada Abs, Dzibyan, Asyja' dan Ghany bin A'shar. Dari Ilyas bin Mudhar ada Tamim bin Murrah, Hudzail bin Mudrikah, Bani Asad bin Khuzaimah dan marga-marga Kinanah bin Khuzaimah. Dari Kinanah ada Quraisy, yaitu anak keturunan Fihr bin Malik bin An-Nadhar bin Kinanah.
Quraisy terbagi menjadi beberapa kabilah, yang terkenal adalah Jumuh, Sahm, Ady, Makhzum, Taim, Zuhrah dan suku-suku Qushay bin Kilab, yaitu Abdud-Dar bin Qushay, Asad bin Abdul-Uzza bin Qushay dan Abdi Manaf bin Qushay.
Abdi Manaf mempunyai empat anak: Abdi Syams, Naufal, Al-Muththalib dan Hasyim. Hasyim adalah keluarga yang dipilih Allah bagi Muhammad bin Abdullah bin Abdul-Muththalib bin Hasyim. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda,

NASAB DAN KELUARGA NABI
Nasab Nabi

Ada tiga bagian tentang nasab Nabi Shallalla.hu Alaihi wa Sallam:
1. Bagian yang disepakati kebenarannya oleh para pakar biografi dan nasab, yaitu sampai Adnan.
2. Bagian yang mereka perselisihkan, yaitu antara nasab yang tidak diketahui secara pasti dan nasab yang harus dibicarakan, tepatnya Adnan ke atas hingga Ibrahim Alaihis-Salam.
3. Bagian yang sama sekali tidak kita ragukan bahwa di dalamnya ada hal-hal yang tidak benar, yaitu Ibrahim ke atas hingga Adam.
Di bagian terdahulu sudah kita singgung sedikit tentang masalah ini. Inilah rincian dari tiga bagian tersebut.

Bagian pertama: Muhammad, bin Abdullah bin Abdul-Muththalib (yang namanya Syaibah), bin Hasyim (yang namanya Amru), bin Abdu Manaf (yang namanya Al-Mughirah), bin Qushay (yang namanya Zaid), bin Kilab, bin Murrah, bin Ka'b, bin Lu'ay, bin Ghalib, bin Fihr (yang berjuluk Quraisy dan menjadi cikal bakal nama kabilah), bin Malik, bin An-Nadhr (yang namanya Qais), bin Kinanah, bin Khuzaimah, bin Mudri-kah (yang namanya Amir), bin Ilyas, bin Mudhar, bin Nizar, bin Ma'ad, bin Adnan. '

Bagian kedua: Adnan dan seterusnya, yaitu bin Ud, bin Hamaisa', bin Salaman, bin Aush, bin Bauz, bin Qimwal, bin Ubay, bin Awwam, bin Nasyid, bin Haza, bin Baldas, bin Yadlaf, bin Thabikh, bin Jahim, bin Nahisy, bin Makhy, bin Aidh, bin Abqar, bin Ubaid, bin Ad-Da'a, bin Hamdan, bin Sinbar, bin Yatsriby, bin Yahzan, bin Yalhan, bin Ar.'awy, bin Aidh, bin Daisyan, bin Aishar, bin Afnad, bin Aiham, bin Muqshir, bin Nahits, bin Zarih, bin Sumay, bin Muzay, bin Iwadhah, bin Aram, bin Qaidar, bin Isma'il, bin Ibrahim.

Bagian ketiga: Ibrahim dan seterusnya, yaitu bin Tarih (yang namanya Azar), bin Nahur, bin Saru' atau Sarugh, bin Ra'u, bin Falakh, bin Aibar, bin Syalakh, bin Arfakhsyad, bin Sam, bin Nuh Alaihis-Salam, bin Lamk, bin Matausyalakh, bin Akhnukh atau Idris Alaihis-Salam, bin Yard, bin Mahla'il bin Qainan, bin Yanisya, bin Syaits, bin Adam Alaihis-Salam.

Keluarga Nabi
Keluarga Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dikenal dengan sebutan keluarga Hasyimiyah, yang dinisbatkan kepada kakeknya, Hasyim bin Abdu Manaf. Oleh karena itu ada baiknya jika menyebutkan sekilas tentang keadaan Hasyim dan keturunan sesudahnya.

1. Hasyim.
Sebagaimana yang sudah kita sebutkan di atas, Hasyim adalah orang yang memegang urusan air minum dan makanan dari Bani Abdu Manaf, tepatnya tatkala Bani Abdu Manaf mengikat perjanjian dengan Bani Abdi-Dar dalam masalah pembagian kedudukan di antara keduanya. Hasyim sendiri adalah orang yang kaya raya dan tehormat. Dialah orang pertama yang memberikan remukan roti bercampur kuah kepada orang-orang yang menunaikan haji di Makkah. Nama aslinya adalah Amru. Dia dipanggil Hasyim karena suka meremukkan roti. Dia juga orang pertama yang membuka jalur perjalanan dagang dua kali dalam setahun bagi orang-orang Quraisy, yaitu sekali pada musim dingin dan sekali pada musim kemarau. Seorang penyair berkata tentang hal ini, "Amru yang meremukkan roti bagi kaumnya kaum Makkah yang tertimpa musim kering kerontang dia tetapkan dua kali perjalanan untuk niaga sekali perjalanan musim kemarau dan penghujan. " Di antara momen kehidupannya, dia pernah pergi ke Syam untuk berdagang. Setiba di Madinah, dia menikahi Salma binti Amru, dari Bani Ady bin An-Najjar dan menetap di sana bersama istrinya itu. Lalu dia melanjutkan perjalanannya ke Syam, sementara istrinya tetap bersama keluarganya, yang saat itu sedang mengandung anaknya, Abdul-Muth-thalib. Namun Hasyim meninggal dunia setelah menginjakkan kaki di Palestina. Sementara Salma melahirkan Abdul-Muththalib pada tahun 497 M, dengan nama Syaibah, karena ada rambut putih (uban) di kepalanya.

Adapun pengasuhan selanjutnya diserahkan kepada bapak Salma di Yatsrib. Sementara tak seorang pun dari keluarga Hasyim di Makkah yang merasakan kehadiran Abdul-Muththalib. Hasyim mempunyai empat putra: Asad, Abu Shaify, Nadhlah dan Abdul-Muththalib^ dan lima putri: Asy-Syifa', Khalidah, Dha'ifah, Ruqayyah dan Jannah. '

2.Abdu Manaf
Seperti yang sudah kita singgung di bagian terdahulu, penanganan air minum dan makanan sepeninggal Hasyim ada di tangan saudaranya, Al-Muththalib bin Abdi Manaf, seorang laki-laki yang terpandang, di-patuhi dan tehormat di tengah kaumnya, yang dijuluki orang-orang Quraisy dengan sebutan Al-Fayyadh (Sang dermawan), karena dia me-mang seorang yang dermawan. Tatkala Al-Muththalib mendengar bahwa Syaibah (Abdul-Muththalib) sudah tumbuh menjadi seorang pemuda atau lebih tua lagi, maka dia mencarinya. Setelah keduanya saling berhadapan, kedua mata Al-Muththalib meneteskan air mata haru, lalu dia pun me-meluknya dan dia bermaksud membawanya. Namun Abdul-Muththalib menolak ajakan itu kecuali jika ibunya mengizinkan. Maka Al-Muththalib memohon kepada ibu Abdul-Muththalib. Namun permohonan itu juga ditolak.
"Sesungguhnya dia akan pergi ke tengah kerajaan bapaknya dan tanah suci Allah," kata Al-Muththalib mengajak.

Akhirnya ibunya mengizinkan. Maka Abdul-Muththalib dibawa ke Makkah dengan diboncengkan di atas ontanya. Sesampai di Makkah, orang-orang berkata, "Inilah dia Abdul-Muththalib."

Al-Muththalib berkata, "Celakalah kalian. Dia adalah anak saudaraku, Hasyim."
Abdul-Muththalib menetap di rumah Al-Muththalib hingga menjadi besar. Kemudian Al-Muththalib meninggal dunia di Yaman. Maka Abdul-Muththalib menggantikan kedudukannya. Dia hidup di tengah kaumnya dan memimpin mereka seperti yang dilakukan bapak-bapaknya terdahulu. Dia mendapat kehormatan yang tinggi di tengah kaumnya, yang tidak pernah diperoleh bapak-bapaknya. Dia dicintai kaumnya dan diagungkan.
Namun Naufal (adik bapak Abdul-Muththalib atau pamannya sendiri) merebut sebagian wilayah kekuasaannya, yang membuat Abdul-Muththalib marah. Maka dia meminta dukungan kepada beberapa pemimpin Quraisy untuk menghadapi pamannya. Namun mereka berkata, "Kami tidak inginmencampuri urusan antara dirimudanpamanmu." Maka dia menulis surat yang ditujukan kepada paman-paman dari pihak ibunya, Bani An-Najjar, berisi beberapa bait syair yang intinya meminta pertolongan kepada mereka. Salah seorang pamannya, Abu Sa'd bin Ady membawa delapan puluh pasukan berkuda, lalu singgah di pinggiran Makkah. Abdul-Muththalib menemui pamannya di sana dan berkata, "Mari singgah ke rumahku wahai paman!"

"Tidak, demi Allah, kecuali setelah aku bertemu Naufal," kata pamannya.
Lalu Abu Sa'd mencari Naufal, yang saat itu sedang duduk di Hijir bersama beberapa pemuka Quraisy. Abu Sa'd langsung menghunus pedang dan berkata, "Demi penguasa Ka'bah, jika engkau tidak mengem-balikan wilayah kekuasaan anak saudariku, maka aku akan menebaskan pedang ini ke batang lehermu."
"Aku sudah mengembalikannya," kata Naufal.

Pengembalian ini dipersaksikan para pemuka Quraisy, baru setelah itu Abu Sa'd mau singgah di rumah Abdul-Muththalib dan menetap di sana selama tiga hari. Setelah itu dia melaksanakan umrah lalu pulang ke Madinah.

Melihat perkembangan ini, Naufal mengadakan perjanjian persa-habatan dengan Bani Abdi Syams bin Abdi Manaf untuk menghadapi Bani Hasyim. Bani Khuza'ah yang melihat dukungan Bani An-Najjar terhadap Abdul-Muththalib, maka mereka berkata, "Kami juga melahirkannya sebagaimana kalian telah melahirkannya. Oleh karena itu kami juga lebih berhak mendukungnya." Hal ini bisa dimaklumi, karena ibu Abdi Manaf berasal dari keturunan mereka. Maka mereka memasuki Darun-Nadwah dan mengikat perjanjian persahabatan dengan Bani Hasyim untuk meng¬hadapi Bani Abdi Syams yang sudah bersekutu dengan Naufal. Perjanjian persahabatan inilah yang kemudian menjadi sebab penaklukan Makkah sebagaimana yang akan kita bahas di bagian mendatang. '
Di antara peristiwa penting yang terjadi di Baitul-Haram semasa Abdul-Muththalib adalah penggalian sumur Zamzam dan peristiwa pasukan gajah.

Ceritanya secara ringkas dari peristiwa pertama, pada awal mulanya dia bermimpi disuruh menggali lagi sumur Zamzam dan mencari tempat-nya. Maka dia pun melaksanakan perintah dalam mimpi itu. Ternyata di dalamnya dia mendapatkan berbagai benda beharga yang dulu pernah dipendam orang-orang Jurhum tatkala sedang berkuasa. Benda-benda itu berupa beberapa buah pedang, baju perang dan dua pangkal pelana, yang semuanya terbuat dari emas. Kemudian dia menjadikan pedang-pedang itu sebagai pintu Ka'bah dan memasang dua buah pangkal pelana di pintu itu. Abdul-Muththalib tetap menangani urusan air minum dari Zamzam bagi orang-orang yang menunaikan haji.

Tatkala sumur Zamzam itu ditemukan kembali oleh Abdul-Muth-thalib, maka orang-orang Quraisy ingin ikut campur tangan menangani-nya. Mereka berkata, "Kami ingin bersekutu."
"Tidak bisa. Ini adalah urusan yang secara khusus ada di tanganku," kata Abdul-Muththalib. Dia tidak mau menyerahkan begitu saja masalah ini kepada mereka kecuali setelah menyerahkan keputusan kepada seorang dukun wanita dari Bani Sa'd. Mereka tidak akan pulang kecuali setelah Allah menunjukkan jalan bahwa Abdul-Muththaliblah yang memang berhak menangani Zamzam. Pada saat itu pula Abdul-Muththalib bernadzar, jika Allah memberinya sepuluh anak laki-laki, dan setelah mereka besar dia tidak lagi mempunyai anak, maka dia akan mengorbankan (menyem-belih) salah seorang di antara mereka di hadapan Ka'bah. *^

Ringkasan kisah yang kedua, bahwa Abrahah Ash-Shabbah Al-Habsy, gubernur yang berkuasa di Yaman dari Najasy, membangun sebuah gereja yang sangat besar di Shan'a', karena dia melihat Bangsa Arab yang melaksanakan haji di Ka'bah. Dengan adanya gereja yang sangat besar itu dia menginginkan untuk mengalihkan pusat kegiatan haji ke sana. Seseorang dari Bani Kinanah mendengar niat Abrahah ini. Maka selagi tengah malam dan dengan cara mengendap-endap, dia masuk ke dalam gereja dan melumurkan kotoran ke pusat kiblat-nya. Tentu saja Abrahah amat murka setelah mengetahui hal ini. Dengan membawa segelar pasukan yang jumlahnya mencapai enam puluh ribu prajurit, dia menuju Ka'bah untuk menghancurkannya. Untuk kendaraannya, dia memilih seekor gajah yang paling besar, di samping sembilan atau tiga belas ekor gajah yang lain di tengah pasukannya. Sesampai di dekat Makkah, Abrahah mempersiapkan pasukannya dan gajahnya, siap untuk menginvasi Makkah. Setibanya di Wadi Mahsar, yaitu antara Muzdalifah dan Mina, tiba-tiba gajahnya menderum dan tak mau bangkit lagi mendekati Ka'bah. Setiap kali mereka mengalihkannya ke arah selatan, utara, timur atau barat yang berlawanan dengan arah Ka'bah, gajah itu mau berdiri dan hendak lari. Namun jika dialihkan ke arah Ka'bah lagi, maka dia pun menderum. Tatkala keadaan mereka seperti itulah Allah mengirimkan burung-burung Ababil di atas mereka, lalu menjatuhkan baru-batu dari tanah yang panas, sehingga mereka tak ubahnya daun-daun yang dimakan ulat. Burung-burung itu menye-rupai Khathathif dan Balsan. Setiap burung membawa tiga biji batu yang dipatuknya, dan dua batu di kedua kakinya, yang besarnya seperti biji kacang. Baru-batu itu tidak menimpa salah seorang di antara mereka, melainkan sendi-sendi tulangnya terlepas dan tak lama kemudian dia pun mati. Tidak semuanya terkena baru-batu itu. Akhirnya mereka serabutan melarikan diri, sebagian menabrak sebagian yang lain hingga banyak yang jatuh terinjak-injak dan mereka mati berserakan. Tentang Abrahah sendiri, Allah mengirim penyakit kepadanya, sehingga sendi-sendi tulangnya terlepas sendiri-sendiri. Setibanya di Shan'a' dia tak ubahnya anak burung, dadanya terbelah hingga menampakkan jantungnya, lalu dia pun mati.
Sementara saat itu orang-orang Quraisy berpencar-pencar menjadi beberapa kelompok dan mengungsi ke atas gunung, karena takut terhadap invasi pasukan Abrahah. Setelah pasukan Abrahah mengalami kejadian sepertHtu, mereka pun kembali lagi ke rumah dalam keadaan selamat dan aman. '

Peristiwa ini terjadi pada bulan Muharram, lima puluh atau lima puluh lima hari sebelum kelahiran Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, atau tepatnya pada akhir bulan Februari atau awal bulan Maret 571 M. Peristiwa ini merupakan prolog yang dibukakan Allah untuk Nabi dan Bait-Nya. Sebab selagi pandangan kita terarah ke Baitul-Maqdis, maka kita akan melihat musuh-musuh Allah yang musyrik menguasai kiblat ini, sekalipun rakyatnya orang-orang Muslim, seperti peristiwa Bukhtanashar pada tahun 587 SM. dan orang-orang Romawi pada tahun 70 M. Tetapi Ka'bah tidak pernah dikuasai orang-orang Nasrani (yang saat itu mereka disebut orang-orang Muslim), sekalipun penduduknya orang-orang Musyrik.

Kabar tentang peristiwa ini cepat menjalar ke wilayah-wilayah yang sudah maju pada zaman itu. Habasyah saat itu mempunyai hubungan yang kuat dengan Bangsa Romawi. Sementara Bangsa Per si juga masih memiliki akar yang kuat. Mereka selalu mengintip apa pun yang dilakukan Bangsa Romawi dan sekutu-sekutunya. Oleh karena itu orang-orang Persi segera pergi ke Yaman setelah peristiwa itu. Dua pemerintahan ini (Persi dan Romawi) merupakan dua kekuatan yang maju dan beradab di dunia saat itu. Maka peristiwa ini langsung mengalihkan perhatian dunia dan sekaligus menunjukkan kemuliaan Baitullah, yang telah dipilih Allah untuk sebuah pensucian. Jadi, jika ada di antara penduduknya yang bangkit menyatakan nubuwan, maka itu merupakan inti yang dituntut dari peris¬tiwa ini, dan sekaligus merupakan penafsiran dari hikmah yang tersem-bunyi, mengapa ada pertolongan dari Allah, orang-orang Musyrik yang berhadapan dengan orang-orang yang memiliki iman, yang semuanya berjalan tanpa bisa dijangkau alam kausalitas.

Abdul-Muththalib mempunyai sepuluh anak laki-laki: Al-Harits, Az-Zubair, Abu Thalib, Abdullah, Hamzah, Abu Lahb, Al-Ghaidaq, Al-Muqawwim, Shaffar, Al-Abbas. Ada yang berpendapat, anaknya ada sebelas, yaitu ditambah Qatsam. Ada pula yang berpendapat, anaknya ada tiga belas. Mereka yang berpendapat seperti ini menambahkan Abdul-Ka'bah dan Hajla. Ada yang berpendapat, Abdul-Ka'bah adalah Al-Mu-qawwim, dan Hajla adalah AI-Ghaidaq. Sementara itu, tak seorang di antara anak-anaknya yang bernama Qatsam. Sedangkan anak putrinya ada enam: Ummul-Hakim atau Al-Baidha', Barrah, Atikah, Shafiyyah, Arwa dan Umaimah. '

3. Abdullah.
Dia adalah bapak Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ibunya adalah Fathimah binti Amr bin A'idz bin Imran bin Maklizum bin Yaqzhah bin Murrah. Abdullah adalah anak Abdul-Muththalib yang paling bagus dan paling dicintainya. Abdullah inilah yang mendapat undian untuk di-sembelih dan dikorbankan sesuai dengan nadzar Abdul-Muththalib. Ringkasnya, tatkala anak-anaknya sudah berjumlah sepuluh orang dan tahu bahwa dia tidak lagi mempunyai anak, maka dia memberitahukan nadzar yang pernah diucapkannya kepada anak-anaknya. Ternyata mereka patuh. Kemudian dia menulis nama-nama mereka di anak panah untuk diundi, lalu diserahkan kepada patung Hubal. Setelah anak-anak panah itu diko-cok, keluarlah nama Abdullah. Maka Abdul-Muththalib menuntun Abdul¬lah sambil membawa parang, berjalan menuju Ka'bah untuk menyembelih anaknya itu. Namun orang-orang Quraisy mencegahnya, terutama paman-. pamannya dari pihak ibu dari Bani Makhzum dan saudaranya Abu Thalib.
"Kalau begitu apa yang harus kulakukan sehubungan nadzarku ini?" tanya Abdul-Muththalib kebingungan.

Mereka mengusulkan untuk menemui seorang dukun perempuan. Maka dia pun menemui dukun itu. Sesampainya di tempat dukun itu, dia diperintahkan untuk mengundi Abdullah dengan sepuluh ekor onta. Jika yang keluar nama Abdullah, maka dia harus menambahi lagi dengan sepuluh ekor onta, hingga Tuhan ridha. Jika yang keluar nama onta, maka onta-onta itulah yang disembelih. Maka dia keluar dari tempat dukun wanita itu dan mengundi antara nama Abdullah dan sepuluh ekor onta. Ternyata yang keluar adalah nama Abdullah. Maka dia menambahi lagi dengan sepuluh ekor onta. Setiap kali diadakan undian berikutnya, yang keluar adalah nama Abdullah, hingga jumlahnya mencapai seratus ekor onta. Baru setelah itu undian yang keluar adalah nama onta. Maka onta-onta itu pun disembelih, sebagai pengganti dari Abdullah. Daging-daging onta tersebut dibiarkan begitu saja, tidak boleh dijamah manusia maupun binatang. Tebusan pembunuhan yang memang berlaku di ka-langan Quraisy dan Bangsa Arab adalah sepuluh ekor onta. Namun setelah kejadian ini, jumlahnya berubah menjadi seratus ekor onta, yang juga diakui Islam. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa beliau bersabda,
"Aku adalah anak dua orang yang disembelih." Maksudnya adalah Isma'il Alaihis-Salam dan Abdullah. ' Abdul-Muththalib menikahkan anaknya, Abdullah dengan Aminah binti Wahb bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab, yang saat itu Aminah dianggap wanita yang paling terpandang di kalangan Quraisy dari segi keturunan maupun kedudukannya. Bapaknya adalah pemuka Bani Zuhrah. Abdullah hidup bersamanya di Makkah. Tak lama kemudian Abdul-Muththalib mengutusnya pergi ke Madinah untuk mengurus korma. Na-mun dia meninggal di sana. Ada yang berpendapat, Abdullah pergi ke Syam untuk berdagang, lalu bergabung dengan kafilah Quraisy. Lalu dia singgah di Madinah dalam keadaan sakit, lalu meninggal di sana dan dikuburkan di Darun-Nabighah Al-Ja'dy. Saat itu umurnya dua puluh lima tahun. Abdullah meninggal dunia sebelum Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dilahirkan. Begitulah pendapat mayoritas pakar sejarah. Ada pula yang berpendapat, Abdullah meninggal dunia dua bulan setelah Ra¬sulullah lahir. Setelah kabar kematiannya tiba di Makkah, Aminah menge-nakan pakaian-pakaian serba usang, dan berkata dalam sebuah syair, "Seorang anak Hasyim telah mati di sisi Bathha menyisihkan Hang lahat di tempat yang jauh di sana banyak ajakan cita-cita yang hendak dipenuhi tidak banyak yang ditinggalkan seperti anak Hasyim ini mereka membawa tempat tidurnya di senja hari rekan-rekannya menampakkannya beramai-ramai cita-cita dan keraguannya kian melambung dia telah banyak memberikan kasih sayang." Warisan yang ditinggalkan Abdullah berupa lima ekor onta, sekumpulan domba, pembantu wanita Habsy, yang namanya Barakah, dan berjuluk Ummu Aiman. Dialah wanita yang mengasuh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

AL-MARAJI`

1. Ikhbarul-Kiram Biakhbaril-Masjidil-Haram, Syihabuddin Ahmad bin
Muhammad Al-Asady Al-Makky (meninggal pada tahun 1066 H.), Al-
Mathba'ah As-Salafiyah, Benares, India, 1396 H./1976 M.

2. Al-Adabul-Mufrad, Muhammad bin Isma'il Al-Bukhary, Istambul,
1304 H.

3. Al-A'lam, Khairuddin Az-Zarkaly, cet. 2, Cairo, 1945 M.

4. Al-Bidayah Wan-Nihayah, Isma'il bin Katsir Ad-Damasqy, Mathba'ah
As-Sa'adah, Mesir, 1932 M.

5. Bulughul-Maram Min Adillatil-Ahkam, Ahmad bin Hajar Al-Asqalany
(773-852 H.), Al-Mathba' Al-Qayumy Kanfur, India, 1323 H.

6. Tarikhu Ardhil-Qur'an, As-Sayyid Sulaiman An-Nadwy (meninggal
pada tahun 1373 H.), Ma'arif Baris A'zham Kadah, India, 1955 M.

7. Tarikh Islam, Syah Akbar Khan Najib Abady, Maktabah Rahmad, In­
dia.

8. Tarikhul-Umam Wal-Muluk, Ibnu Jarir Ath-Thabary, Al-Mathba'ah
Al-Husainiyah Al-Mishriyah.

9. Tarikhu Umar bin Al-Khaththab, Abul-Faraj Abdurrahman bin Al-
Jauzy, Mathba'ah At-Taufiq Al-Adabiyah, Mesir.

10. Tuhfatul-Ahwadzy, Abul-Ala Abdurrahman Al-Mubarakfury, Jayyid
Barqy Baris Daily, India, 1353 H.

11. Tafsir Ibnu Katsir, Isma'il bin Katsir Ad-Damasqy, Darul-Andalus,
Beirut.

12. Tafhimul-Qur'an, Al-Ustadz As-Sayyid Abul-A'la Al-Maududy,
Maktabah Jama'at Islamy, India.

13. Talqihu Fuhumi Ahlil-Atsar, Abul-Faraj Abdurrahman bin Al-Jauzy,
Jayyid Barqy Baris Daily, India.

14. Jami 'ut-Tirmidzy, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah At-Tirmidzy
(209-279 H.), Al-Maktabah Ar-Rusyaidiyah, India.

15. Al-Jihad Fil-Islam, (Bahasa Urdu), Al-Ustadz As-Sayyid Abul-A'la
Al-Maududy, Islamuka, Lahore, Pakistan, cet. 4, 1967 M.

16. Khulashatus-Sair, Muhibbuddin Abu Ja'far Ahmad bin Abdullah Ah-Thabary (meninggal pada tahun 674 H.), India, 1343 H.

17 Rahmah Lil-alamin, Muhammad Sulaiman Salman Al-Manshurfury (meninggal pada tahun 1930 M.)

18. Rasul Akram Kay Siyasy Zandaky, Dr. Humaidillah, Baris Salim, In­
dia, 1963.

19. Ar-Raudhul-Anfi, Abul-Qasim Abdurrahman bin Abdullah As-Suhaily (508-581), Al-Mathba'ah Al-Jamaliyah, Mesir, 1332 H./1914 M.

20. Zadul-Ma 'ad, Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Bakr bin Ayyub, yang dikenal dengan sebutan Ibnul-Qayyim (691-751), Al- Mathba'ah Al-Mishriyyah, cet. 1, 1347 H.

21. Safarut-Takwin.

22. Sunan Ibnu Majah, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah Al-Qazwainy (209-273 H.)

23. Sunan Abu Daud, Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy'ats As-Sijistany (202-275 H.), Al-Mathba'ah Al-Majidy Kanflir, India, 1375 H.

24. Sunan An-Nasa'y, Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu'aib An-Nasa'y
(215-303 H.), Al-Maktabah As-Salafiyah, Lahore Pakistan.

25. As-Sirah Al-Halabiyyah, Ibnu Burhanuddin. v<r

26. As-Sirah An-Nabawiyyah, Abu Muhammad Abdul-Malik bin Hisyam
bin Ayyub Al-Humary (meninggal pada tahun 213 atau 218 H.), Syir-
kah Maktabah wa mathba'ah Musthafa Al-Baby Al-Halaby wa Au-
laduhu, Mesir, cet. 2, 1375 H.

27. Syarhu Syudzuridz-Dzahab, Abu Muhammad Abdullah Jamaluddin
bin Yusuf, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Hisyam Al-Anshary (708-761 H.), Mathba'ah As-Sa'adah, Mesir.

28. Syarh Shahih Muslim, Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-
Nawawy (meninggal pada tahun 676 H.), Al-Maktabah Ar-Rusyaidi-
yah, India, 1376 H.

29. Syarhul-Mawahib Al-Laduniyyah, Az-Zarqany.

30. Asy-Syifa Bita'rifi Huquqil-Musthafa, Al-Qadhy Iyadh, Mathba'ah Utsmaniyah, Istambul, 1312 H.

31. Shahih Al-Bukhary, Muhammad bin Isma'il Al-Bukhary (meninggal
pada tahun 256 H.), Al-Maktabah Ar-Rahimiyyah, India, 1387 H.

32. Shahih Muslim, Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairy, Al-Maktabah Ar-
Rusyaidiyah, India, 1376 H.

33. Shahifah Habaquq.

34. Shulhul-Hudaibiyah, Muhammad Ahmad Basymil, Darul-Fikr, cet. 2, 1971 M.

35. Ath-Thabaqatul-Kubra, Muhammad bin Sa'd, Mathba'ah Breil, Leiden, 1322 H.

36. Aunul-Ma 'bud Syarh Abu Baud, Abuth-Thayyib Syamsul-Haqq Al-Azhim Abady, cet. 1, India.

37. Ghazwatu Uhud, Muhammad Ahmad Basymil, cet. 2.

38. Ghazwatu Badril-Kubra, Muhammad Ahmad Basymil, cet. 3, 1376
H./1976M.

39. Ghazwatu Khaibar, Muhammad Ahmas Basymil, Darul-Fikr, cet. 2,
1391 H./1971 M.

40. Ghazwatu Bani Quraizhah, Muhammad Ahmad Basymil, cet. 1, 1376
H./1966M.

41. Fathul-Bary, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalany (773-852), Al-
Mathba'ah As-Salafiyah wa Maktabuha, Ar-Raudhah, Cairo.

\2. Fiqhus-Sirah, Muhammad Al-Ghazaly, Darul-Kitab Al-Araby, Mesir, cet. 2, 1375H./1955M.

43. Fi Zhilalil-Qur'an, Sayyid Quthb, Daru Ihya'it-Turats Al-Araby, Beirut, Lebanon, cet. 3.

44. Al-Qur'anul-Azhim.

45. Qalbu Jaziratil-Arab, Fu'adHamzah, Al-Mathba'ah As-Salafiyyah wa
Maktabuha, Ar-Raudhah, Mesir, 1923 M.

46. Madza Khasiral-Alamu Biinhithathil-Muslimin, As-Sayyid Abul-Hasan Al-Hasany An-Nadawy, cet. 4, Maktabah Darul-Urubah, Cairo, 1961 M.

47.Muhadharat Tarikhil-Umam Al-Islamiyyah, Asy-Syaikh Muhammad Al-Khadhry Bik, Al-Maktabah At-Tijariyyah Al-Kubra, Mesir, cet. 8, 1382 H.

48. Mukhtashar Siratir-Rasul, Syaikhul-Islam Muhammad bin Abdul-Wahhab At-Tamimy An-Najdy (meninggal pada tahun 1206, H.),
Mathba'ah As-Sunnah Al-Muhammadiyyah, Cairo, cet. 1, 1375 H.

49. Mukhtashar Siratir-Rasul, Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad An-
Najdy Alisy-Syaikh (meninggal pada tahun 1242 H.), Al-Mathba'ah
As-Salafiyyah wa Maktabuha, Ar-Raudhah, Mesir, 1379 H.

50. Madahkut-Tanzil, An-Nasfy.

51. Mirqatul-Mafatih, Asy-Syaikh Abul-Hasan Ubaidillah Ar-Rahmany
Al-Mubarakfury, jilid 2, Lucknow, India, 1378 H./1958 M.

52. Murawwijudz-Dzahab, Abul-Hasan Ali Al-Mas'udy, Mathba'ah Asy-
Syarqul-Islamy, Cairo.

53. Al-Mustadrak, Abu Abdullah Muhammad Al-Hakim An-Nisabury,
Da'iratul-Ma'arif Al-Utsmaniyyah Haidar Abady. India.

54. Musnad Ahmad, Al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal Asy-
Syaibany (meninggal pada tahun 264 H.)

55. Musnadud-Darimy, Abu Muhammad Abdullah bin Abdullah Ar-
Rahman Ad-Darimy (181-255 H.)

56. Misykatul-Mashabih, Waliyuddin Muhammad bin Abdullah At-Tibri-
zy, Al-Maktabah Ar-Rahimiyyah, India.

57. Mu'jamul-Buldan, Yaqut Al-Hamawy.

58. Al-Mawahib Al-Laduniyyah, Al-Qasthalany, Al-Mathba'ah Asy-Sya-
lafiyyah, 1336 H./1907 M.

59. Muwaththa' Imam Malik, Al-Imam Malik bin Anas Al-Ashbahy (meninggal pada tahun 169 H.), Al-Maktabah Ar-Rahimiyyah, India. 60. Wafa'ul-Wafa, Ali bin Ahmad As-Samhudy.